Judul Buku: Pemikiran KH Hasyim Asy'ari tentang Ahlussunnah Wa al-Jamaah
Penulis : Achmad Muhibbin Zuhri
Penerbit : Khalista dan LTN PBNU
Cetakan I : Desember 2010
Tebal : XXVI+ 328 Halaman
Harga : Rp. 50.000,-
Resensi :
Mbah Hasyim Ideolog Sunni Indonesia
Fakta jika mayoritas umat Islam di Indonesia adalah pengikut ajaran Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri sebagai pengamal dan pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah. Diakui ataupun tidak, inklusifitas ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari nilai-nilai aswaja telah memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat dan fleksible Islam di Indonesia.
Penulis : Achmad Muhibbin Zuhri
Penerbit : Khalista dan LTN PBNU
Cetakan I : Desember 2010
Tebal : XXVI+ 328 Halaman
Harga : Rp. 50.000,-
Resensi :
Mbah Hasyim Ideolog Sunni Indonesia
Fakta jika mayoritas umat Islam di Indonesia adalah pengikut ajaran Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri sebagai pengamal dan pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah. Diakui ataupun tidak, inklusifitas ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari nilai-nilai aswaja telah memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat dan fleksible Islam di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang multikultur serta kaya akan ragam tradisi, tidak
menghalangi Islam ala NU membumi. Mengacu pada teori Islam Kolaboratif
Prof. Nur Syam, fleksibilitas doktrin sunni mampu berkolaborasi dengan
tradisi-tradisi non Islami yang telah mapan tanpa menghilangkan
nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat absolut.
Fenomena kenduri, tahlilan, perayaan maulid, peringatan tiga hari, tujuh
hari serta seratus hari pasca kematian, adalah bukti bentuk metamorfosa
nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya masyarakat Indonesia pra Islam.
Sehingga, keberadaan Islam dapat diterima menjadi agama mayoritas
masyarakat Indonesia tanpa resistensi yang berarti.
Dalam kajian historis, Walisongo sangat berjasa menanamkan ajaran
ahlussunnah di ranah Nusantara. Namun, NU sebagai organisasi sosial
keagamaan memiliki andil yang signifikan dalam mempertahankan ajaran
ideologi Sunni. Menjamurnya organisasi keagamaan yang mengusung
purifikasi dan pembaruan Islam dalam dekade awal abad 20 secara sistemik
dan masif melakukan penggerogotan. Di sinilah NU berperan aktif
melakukan pendampingan serta pengawalan terhadap tradisi Sunni sebagai
way of life mayoritas umat Islam Indonesia.
Satu hal pokok yang tidak boleh dilupakan bahwa wajah Sunni Nahdlatul
Ulama sangat dipengaruhi oleh paradigma Aswaja Hadratus Syeikh Hasyim
Asy’ari. Tidak berlebihan jika KH Hasyim Asy’ari ditahbiskan sebagai
ideolog Sunni Indonesia. Penelitian terbaru tentang pemikiran tokoh
pendiri organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia ini, Dr Achmad
Muhibbin Zuhri menemukan corak Sunni KH Hasyim Asy’ari sangat khas dan
tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal, meskipun dalam
banyak hal tetap mencerminkan pola Sunni.
Sunni Partikular ala Mbah Hasyim
Ahlussunnah wal jamaah sebagai ideologi tidak dapat dilepaskan dari
normatifitas ajaran yang telah digariskan pengagasnya. Namun, dalam
tataran praksis, normatifitas ajaran ahlussunnah tersebut tidak bisa
melepaskan diri dari proses dialektika dengan dinamika sosio religious
yang mengelilingi. Jika entitas Sunni era awal pembakuan sebagai counter
ideologis terhadap Mu’tazilah dan Jabariah, serta counter politic
terhadap syi’ah. Hal ini berbeda dalam konteks di mana Mbah Hasyim
hidup.
Meskipun bangunan pemikiran Mbah Hasyim dipengaruhi oleh pemikiran ulama
abad pertengahan dan klasik, namun dekade Mbah Hasyim identik dengan
era pertarungan antara entitas Islam Tradisional yang diwakili oleh
masyarakat pesantren dan mayoritas umat Islam Indonesia yang berhaluan
sunni, berhadapan dengan entitas Islam puritan dan pembaharu yang
dikelompokkan dalam Islam Modernis. Uniknya, kelompok Tradisionalis
maupun Puritan-Modernis sama-sama mengaku sebagai entitas sunni dan
secara geneologis bertemu pada simpul Ahmad bin Hanbal pendiri Madzhab
Hanbali yang dikenal otoritasnya sebagai ahli hadist.
Konstruksi naratif pemikiran Mbah Hasyim dapat dipandang sebagai salah
satu “counter discource” terhadap mainstream pemikiran modernis dan
puritan. Yakni kelompok yang menolak secara tegas pola bermadzhab dan
taqlid serta melarang bid’ah atau kreatifitas dalam ibadah yang secara
eksplisit tidak terdapat acuan dalam nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis.
Pandangan Mbah Hasyim mengenai tawassul, istighatsah, syafa’at,
kewalian, maulid, tarekat, dalam beberapa kitab karangannya merupakan
wacana tanding pemikiran kelompok Islam Puritan yang dikembangkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri Aliran Wahhabi. Sedangkan isu-isu
pembaruan yang dimunculkan oleh kalangan Modernis pengikut pemikiran
Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, direspon oleh
Mbah Hasyim dalam pembahasan seputar ijtihad, madzhab, taqlid, talfiq,
sunnah dan bid’ah.
Menurut Muhibbin, deskripsi pemikiran keagamaan Kiai Hasyim di atas
berimplikasi teoritis terhadap konsep Sunnisme. Mbah Hasyim dapat
diintrodusir sebagai “sunni partikular”, yaitu paham ahlussunnah wal
jamaah yang telah berdialog dengan dinamika keagamaan di Indonesia,
khususnya dialektika modernis-tradisionalis pada abad ke-20. (hal. 265)
Sebagai bagian dari komunitas Nahdliyin, penulis telah berhasil menggali
dengan mendalam tentang konstruksi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh
pendiri Nahdlatul Ulama yang hingga saat ini menjadi ikon Islam
subtantif dan moderat. Buku ini merupakan hasil disertasi yang
diterbitkan, sehingga alur penulisannya sistematis dan analisanya
mendalam. Oleh penulis, pembaca diajak mengarungi pemikiran ahlussunnah
KH. Hasyim Asy’ari secara runtut dan detail. Mulai dari kajian embrio
munculnya pemikiran Sunni, konsolidasi, pelembagaan ideologi sunni era
abad pertengahan, hingga dialektika sunni dengan realitas sosio-religius
yang melingkupinya dalam berbagai dekade.
Tidak kalah menarik, uraian tentang latar belakang intelektual yang
membentuk paradigma Sunni KH Hasyim Asy’ari serta bagaimana pendiri
Nahdlatul Ulama ini berusaha mendialektikakan mainstream sunni dengan
realitas sosio-religious masyarakat Indonesia era awal abad 20.
Sehingga, tampak jelas kepiawaian Mbah Hasyim dalam merumuskan
doktrin-doktrin ahlussunnah dari nash Al-Qur’an dan Al-Hadis yang pada
akhirnya memunculkan bentuk sunni yang khas Indonesia.
Studi dalam buku ini, selain dapat memberikan referensi bagi usaha-usaha
reaktualisasi ideologi, juga berguna menambah khazanah keilmuan tentang
Sunni Partikular, yaitu ekspresi ahlussunnah wal jamaah pada dimensi
ruang dan waktu tertentu. Selain itu, buku ini merupakan wujud usaha
aktualisasi sekaligus kontekstualisasi ahlussunnah wal jamaah yang
bercorak inklusif, moderat dan fleksible dalam bersinggungan dengan
kesejarahan umat. Walhasil, apresiasi yang besar layak diberikan kepada
penulis, sebab isi buku ini menambah kekayaan tafsir tentang ahlussunnah
di saat gempuran ideologi “kaca mata kuda” Islam
puritan yang cenderung eksklusif menguncang kedamaian dan kesantunan
dalam beragama dan keberagamaan. Wallahu a’lam… (Peresensi : Fathul Qodir, Sumber: NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar